Gemercik air membasahi seluruh pekarangan, tak terlalu deras memang, namun
angin yang sepoi cukup membuat beberapa orang berfikir dua kali untuk pergi
keluar. Cahaya keemasan yang tersepuh di pinggir barat pun samar-samar
terselimuti mendung sore ini. Sesekali terlihat kilat, menyambar tersulut bak
api membara yang yang siap mengobrak-abrik sang langit.
Hari itu sepi sekali,
hanya rintihan hujan yang terdengar oleh telinga mungil ini. Mungkin sebagian
orang berfikir sekedar minum kopi sambil menyaksikan televisi adalah hal yang
dirasa tepat untuk mengisi kekosongan ini. Tapi tidak bagi pria paruh baya yang
sedari tadi duduk termenung dengan tenang. Dihadapan kanvas putih itu Ia
mengadu. Tangan kanannya menggenggam kuas erat. Sesekali Ia terbatuk. Rambutnya
yang mulai memutih tak jarang ia garuk dan jambak sesuka hati. Kuas itu kini
bergerak maju, terlihat ragu dan nampak sedikit goyah. Sorot matanya terlihat
berkaca-kaca. Entah apa yang sedang merasuki pikirannya kini. Suasana dingin
justru bagai sebuah anomali yang membuat dirinya gugup berkeringat. Tiba-tiba
terdengar teriakan. Kuas itu terlempar jauh. Sedangkan sang empu menjerit
sejadi-jadinya. Terpancar gejolak batin muncul dari raut wajahnya.
***
“ Bukannya dulu kau yang
berjanji?” Tanya cewek berambut panjang itu penuh isak tangis
“ Tapi semua itu berubah,
aku tak bisa terus menerus digantung seperti ini” Terang cowok disebelahnya
kemudian
“ Katamu cinta harus
diperjuangkan. Kau harus lebih sabar. Mungkin bapakku hanya perlu waktu”
“Sudahlah, aku rasa
hubungan kita sudah berakhir. Jaga dirimu baik-baik” Ucap sang cowok seraya
pergi
“ Tega kau, tega kau
lupakan semua kenangan selama ini” kini tangisnya makin pecah, sedang sang
cowok tadi tak menggubris dan tetap memilih pergi.
Sejak saat itu tempat ini
menjadi saksi. Tak teduga, tempat pertemuan yang dulu mereka gandrungi justru
meninggalkan kenangan pahit. Sesekali cewek itu kembali. Menanti cinta yang tak
pasti. Tapi hanya kerinduan yang menghampiri dan menyelimuti kekosongannya.
***
Pria itu bangkit. Emosinya
mulai reda seiring hujan yang sedikit demi sedikit berhenti membasahi bumi.
Diambilnya kuas itu dengan pasti. Kini matanya mantap menatap kanvas kosong dan
mulai melukis. Kuas itu mulai menari, mencoret kesana kemari. Terlihat guratan
halus yang sedikit demi sedikit berubah jelas. Lukisan itu mulai bercerita.
Menampilkan kesaksian mimpi. Mimpi yang tak kunjung jadi kenyataan. Saat tangan
itu berhenti, lukisan itu berdiri sendiri sementara sang pengukir pergi.
Lukisan itu nampak bersaksi. Menguak sebuah misteri yang tak kunjung pergi.
Mungkin dulu pria itu bisa pergi. Namun tidak dengan cinta. Cinta itu memiliki
dan tak pernah habis dimakan sang hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar